MANADO, Manadonet.com- Polda Sulut menaikan status dari penyelidikan ke penyidikan terkait kasus penggunaan bukti palsu dalam sidang gugatan atas sertifikat tanah di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, RT 25, RW 7, Lingkungan IV, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut) di Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu.
Hal tersebut berdasarkan Laporan polisi nomor LP/460/IX/2021/SULUT/SPKT tanggal 28 September 2022, dimana surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Perkara 1 Maret 2022 telah diserahkan ke Kuasa Hukum dengan nomor surat.
Dengan nomor surat B/113/III/2022/Dit Reskrimum tertanggal 1 Maret 2022.
Pun, informasi telah menyurat ke Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dengan nomor surat B/29/III/2022/Dit Reskrimum, perihal Pemberitahuan dimulainya penyidikan ditandatangani oleh Direktur Reskrim Umum Polda Sulut Gani Siahaan, tertanggal 1 Maret 2022.
Dimana menerangkan, bahwa pada tanggal 1 Maret 2022 telah dimulainya penyidikan Tindak Pidana menggunakan surat palsu dan atau menggunakan hak yang telah dicabut oleh Hakim sebagaimana dimaksud pasal 263 ayat 2 KUHP dan Pasal 227 KUHP.
Berdasarkan hal tersebut, Pelapor Prof Ing Mokoginta meragukan kinerja dalam tahapan penyidikan tersebut. Dimana sudah dua kali laporan diberhentikan
Prof Ing Mokoginta mengatakan, yang diproses ini adalah laporan keempat kami di Polda Sulut. Laporan ketiga sudah sampai tahapan seperti ini namun karena lamanya proses dari Polda Sulut, SPDP dikembalikkan oleh Kejaksaan
“Tentu keputusan ini berdasarkan minimal dua alat bukti. Anehnya SPDP juga tanpa disertai dokumen tersangka sama seperti Laporan kami yang ke tiga,” ujar dia, Jumat (4/3/2022).
Menurut dia, setelah lima bulan lebih tanpa perkembangan, maka Jaksa mengembalikan SPDP ke Polda Sulut. Dan sekarang laporan kami yang ketiga diduga terus dibengkokkan.
“Disuruh ukur tanah? Walaupun sudah ada sidang lokasi yang dilakukan di PTUN. Jelas permintaan itu tidak relevan, hanya mengada saja,” ujar dia.
Lanjut dia, dengan melihat isi SP2HP dan SPDP laporan keempat kami ini hanya menyenangkan pelapor, ya supaya pelapor senang. Nantinya juga akan diambangkan lagi, dan kami dipimpong.
“Kami sudah pernah ketemu Kapolda Sulut, Direskrimum Polda Sulut dan dijanjikan akan diselesaikan secara benar. Akan tetapi hal ini tidak pernah terwujud,” kata Prof Ing Mokoginta.
Dia menjelaskan, dari pengalaman kami, memang benar jangan percaya pada pejabat, karena di depan korban, pejabat ngomong manis-manis. Tetapi mengapa penyidik berani melawan pimpinan, dengan tidak melakukan hal yang benar?
“Diduga ada jaminan dari pimpinan. Contoh yang lain, penyidik di Laporan kedua sudah menerima sanksi pelanggaran kode etik profesional. Nyatanya sanksi itu bisa dianulir,” beber dia.
Kemudian, Lanjut Prof Ing Mokoginta, kami sudah melapor ke Kompolnas. Bahkan, informasi dari pengacara kami bahwa penyidik telah melakukan gelar perkara untuk menjawab permintaan klarifikasi Kompolnas, sebanyak dua kali. Faktanya permintaan Kompolnas dianggap angin lalu.
“Jadi Bpk Kapolri yth, Bpk menyatakan lapor kalau korban tidak mendapatkan keadilan karena lawannya orang kaya. Bahkan sekarang bukan saja perkara tindak pidana, yang terus dibengkokkan,” jelas dia.
Lanjut dia, bahkan ada mafia peradilan, dimana diduga penyidik membiarkan terlapor menggugat kami di PN, dengan tuntutan melanggar hukum karena mencabut sertifikat terlapor padahal ini keputusan PTUN sampai PK.
“Dan tindak pidana terjadi lagi karena bukti di PN terlapor gunakan fotokopi sertifikat yang sudah dibatalkan dan dicabut BPN Kotamobagu dan BPN Provinsi Sulut atas penetapan PTUN. Dimana keadilan buat rakyat kecil?,” kata dia.
“Kami Pelapor menunggu dalam waktu dekat, akankah SPDP Laporan keempat kami akan bernasib yang sama seperti di Laporan kami yang ketiga ? akankah ada penetapan tersangka ? tutup dia. (rds)